Showing posts with label culture. Show all posts
Showing posts with label culture. Show all posts

Sunday, August 14, 2011

Jalur-jalur Kereta Terindah Di Dunia

Adventurous Train Journey

Image Credits: Travel and Liesure
Adventurous Train JourneyAdventurous Train Journey

Image Credits: African Signature
Adventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train JourneyAdventurous Train Journey 
sumber :http://www.desicolours.com/would-you-like-to-experience-such-train-journeys/14/03/2010
Jadi .. anda tertarik mencobanya ?? yang pasti butuh biaya yang tidak sedikit .. :D

Tips Bulan Ramadhan

Tips Bulan Ramadhan. RamadhanMarhaban Ya Ramadhan, setahun telah berlalu dan kini dengan segala puji bagi Allah SWT kita telah dipertemukan lagi dengan bulan yang penuh rahmat, berkah dan ampunan. Ramadhan bulan yang berladang pahala yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadar, dengan kewajiban kita menjalankan ibadah di dalamnya sehingga tidak boleh menjadikan bermalas-malasan karena menahan hawa nafsu, menahan lapar dan haus, sehingga merasa kurang bersemangat dalam kegiatan sehari-hari, tetapi tetaplah untuk konsisten seperti biasanya.

Berikut ini beberapa Tips Bulan Ramadhan yang semoga bisa menjadikan kita istiqomah dalam mengisi kegiatan sehari-hari di bulan Ramadhan 1431 H.


Waktu Sahur
1. Sahur menjelang sholat shubuh. Usahakan sebelumnya tilawah Qur'an
2. Sepuluh menit sebelum adzan bersiap-siap menghentikan makan

Menjelang Shubuh
3. Fokuskan diri untuk mempersiapkan shalat Shubuh

Setelah Shubuh
4. Hirup udara pagi dan syukuri nikmatnya
5. Luangkan waktu untuk mendengar ceramah
6. Olah raga sedikit dengan meremaskan jari atau memutar pundak
7. Jangan tidur lagi
8. Tadarus Al Qur'an
9. Siap menunaikan tugas harian dalam keadaan fresh

Selama perjalanan dan di tempat kerja
10. Baca basmalah
11. Bersedekah dengan senyuman pada teman
12. Jangan lepaskan hati dari dzikrullah, karena itu akan menentramkan hati kita
13. Azamkan dengan kuat bahwa pekerjaan yang dilakukan adalah jihad fisabilillah
14. Jaga lisan, telinga dan mata dengan memfungsikannya pada hal-hal yang mendapat ridlo Allah.
15. Ajak beberapa sahabat untuk menjadi pengingat ketika kita lupa
16. Apabila emosi tidak terkendali, segera berwudhu dan perbanyak tadarus
17. Selalu ingat bahwa bulan Ramadhan bukan bulan malas-malasan.

Saat Buka Puasa
18. Segeralah berbuka bila telah tiba waktunya
19. Sempurnakan kewajiban berbuka dengan Shalat Magrib berjamaah
20. Setelah sholat Isya’ dan Tarawih, sempatkan untuk Tadarus Al Qur'an

Menjelang Tidur
21. Usahakan tidur paling malam jam 23.00
22. Tidur dengan adab yang benar

Bersikap Efektif dan Effisien
23. Minta tolonglah dengan perkataan yang baik
24. Apabila Anda hendak menyuruh orang lain, suruhlah dengan sewajarnya
25. Mudahkanlah pekerjaan orang lain
26. Buatlah orang merasa bergembira, niscaya Anda akan lebih kreatif
27. Jangan beri peluang bagi kegiatan yang tidak bermanfaat
28. Apabila emosi tidak terkendali, segera berwudhu dan perbanyak tadarus
29. Lakukanlah hal-hal sederhana yang bermanfaat
30. Perbanyak silaturahmi
31. Jangan terlalu mengingat amal baik Anda, tapi ingatlah amal baik orang lain.
32. Ingatlah hal buruk yang pernah kita perbuat, sehinnga kita menyesal
33. Syukuri apa yang telah diraih, walaupun sedikit

sumber: http://www.mypepito.info/2010/08/tips-bulan-ramadhan.html


Friday, August 12, 2011

Menakar Kepunahan Bahasa-bahasa di Aceh

Menakar Kepunahan Bahasa-bahasa di Aceh
oleh > Yusradi Usman al-Gayoni [Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah] | Minggu, 10 April 2011
Di Aceh, sekurang-kurangnya terdapat sebelas bahasa daerah, yakni bahasa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, Haloban, Simeulue, Devayan, dan bahasa Sigulai (Daud: 2006). Secara keseluruhan, yang paling banyak penuturnya adalah bahasa Aceh. Bahasa Aceh dituturkan lebih dari sejuta penutur.


Selanjutnya, bahasa Gayo, yang penuturnya sekitar 500 ribu (al-Gayoni: 2009). Selebihnya, tergolong bahasa minor yang jumlah penuturnya lebih kecil lagi. Besarnya penutur bahasa tidak menjamin kebertahanan suatu bahasa. Kelangsungan bahasa terletak pada penuturnya. Dengan kata lain, sejauh mana sebuah bahasa dipakai, dipelajari, dan ditransmisikan kepada generasi yang lebih muda.


Demikian halnya dengan bahasa Aceh, meski didukung dengan jumlah penutur yang besar, bahasa Aceh bisa kritis bahkan menuju ambang kepunahan bila penuturnya mulai meninggalkan bahasa ini. Kalau kondisinya sudah demikian, bahasa Aceh dapat punah empat sampai lima generasi lagi (al-Gayoni, Serambi Indonesia, 3/7/2010). Lebih-lebih kondisi dewasa ini menunjukkan bahwa bahasa Aceh mulai ditinggalkan generasi muda, khususnya yang mendiami seputar kota di titik-titik persebaran bahasa Aceh di Provinsi Aceh. Pastinya, secara evolutif, kondisi demikian akan berpengaruh terhadap kelangsungan dan kebertahanan bahasa Aceh. Kalau bahasa Aceh dengan penutur di atas 1 juta saja demikian, bagaimana dengan bahasa-bahasa minor lainnya di Aceh? Sudah barang tentu, kondisinya lebih mengkhawatirkan bila tidak dilakukan upaya-upaya penyelamatan.


Dalam bukunya Vanishing Voices the Extinction of the World's Languages, Daniel Nettle dan Suzzane Romaine menyebutkan bahwa bahasa yang didukung kurang dari 100 penutur begitu mendekati kepunahan. Berdasarkan data Ethnologue SIL, 90% populasi dunia menuturkan 100 bahasa yang biasa dipakai. Hal tersebut berarti bahwa paling tidak terdapat 6000 bahasa yang dipakai oleh sekitar 10% penutur di dunia. Michael Krauss, seorang Linguis (ahli bahasa) dari Alaska Native Language Center menyebutkan bahwa dengan menyertakan semua bahasa yang penuturnya lebih dari 100.000 orang, diperkirakan hanya 600 bahasa yang “aman.”  Beliau menyakini bahwa beberapa diantaranya bisa dianggap memiliki jaminan masa depan. Dengan kata lain, kebanyakan bahasa-bahasa di dunia kemungkinan berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan (kepunahan) (2000: 8).


Krauss (1991: 160-3) mengklasifikasikan tiga tingkat bahasa yang dikatakan “terancam/bahaya,” yaitu safe (aman), endangered (terancam) dan extinct (punah). Krauss menambahkan bahwa bahasa dikatakan hampir mati saat bahasa tersebut tidak lagi dipelajari anak-anak sebagai bahasa ibu (1992: 4). Sementara itu, Kincade (1991: 160-3) membedakan bahasa yang aman dan tidak aman berdasarkan lima tingkatan, yaitu (1) viable (bertahan), didukung penutur yang besar dan tidak adanya ancaman; (2) viable but small (bertahan tapi kecil) terdapat lebih dari 1000 penutur, dituturkan dalam komunitas yang terisolasi (dengan organisasi internal yang kuat) dan bahasa dianggap sebagai penanda identitas; (3) endangered (terancam) digunakan dengan penutur yang memadai supaya memungkinkan untuk bertahan; (4) nearly extinct (mendekati kepunahan) kemungkinan tidak bertahan, karena hanya dituturkan sebagian orang tua; dan (5) extinct (punah) penutur terakhir telah meninggal dunia dan tidak ada lagi tanda-tanda hidup kembali.


Sementara itu, Stephen Wurm (1998: 192) juga mengklasifikasikan lima tingkat klasifikasi, yang memokuskan pada bahasa yang lebih lebih lemah dan memberikan penekanan berbeda soal [bahasa yang] hampir mati, yaitu pertama: bahasa yang berpotensi terancam (potentially endangered languages), bahasa tersebut secara sosial dan ekonomi tidak menguntungkan. Juga, berada di bawah tekanan berat bahasa yang lebih besar, di tambah mulai kehilangan penutur kanak-kanak (lebih muda). Kedua, terancam (endangered languages); anak-anak sedikit yang mempelajari bahasa tersebut atau tidak ada sama sekali dan penuturnya terbilang dewasa.  Ketiga, secara serius terancam (seriously endangered languages); dimana penuturnya berumur 50 tahun atau lebih tua. Keempat, hampir mati (moribund languages); menyisakan hanya sedikit sekali penutur yang paham dan kebanyakan sudah sangat tua. Kelima, bahasa yang punah (extinct languages); dimana tidak menyisakan penutur sama sekali.  


Penyelamatan
Bahasa menggambarkan identitas, nilai, ideologi, ruh, jiwa, kearifan dan pengetahuan lokal serta lingkungan penuturnya. Saat bahasa daerah punah, maka budaya dan segala sesuatu terkait penuturnya ikut punah. Oleh sebab itu, bahasa daerah di Aceh mesti diselamatkan, karena menggambarkan kekayaan dan identitas keacehan. Hal tersebut dikuatkan dengan tiga pola, yaitu pola pikir, sikap, dan pola tindak yang mengarah pada penyelamatan dan pelestarian bahasa daerah di Aceh. Sebagai akibatnya, keragaman linguistik (linguistics diversity) akan senantiasa tercipta pula dalam ekologi bahasa [berbahasa] di Aceh.


Di sini lain, persoalan bahasa daerah ini dimuat pula dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya pada bab XXXI pasal 221 ayat (4) yang menegaskan bahwa bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal dan ayat (5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun.


Sayangnya, dalam pelaksanaannya, amanat konstitusi ini kurang berjalan dengan baik. Terlebih lagi, di tingkat kabupaten, tambah pengajaran bahasa-bahasa minor dimaksud. Salah satu kelemahannya adalah kurangnya penyiapan infrastruktur (tenaga pengajar) dalam pelaksanaannya, termasuk soal kurikulum dan silabus yang menyesuaikan kekhasan bahasa dan daerah masing-masing. Pastinya, persoalan pengajaran dan pembelajaran bahasa daerah ini (muatan lokal) perlu dikuatkan kembali. Karena, pelembagaan melalui lembaga pendidikan — selain dalam keluarga dan penutur itu sendiri — dinilai efektif dalam menyelamatkan bahasa daerah. Dengan begitu, bahasa-bahasa daerah di Aceh akan tetap terpelihara dan terwaris pada generasi-generasi Aceh selanjutnya.

Geliat Seudati di Marina Bay

29 Juni 2011, sejumlah pasang mata turis tampak keheranan. Mereka celingak-celinguk mengamati sekelompok penari yang unjuk kebolehan. Para penari seakan tak menghiraukan perhatian itu. Dengan gerakan yang artistik, mereka menghentak Marina Bay.
Langit Singapura yang mendung seakan tak menjadi soal. Rintik hujanpun menjadi nada improvisasi Rapai Geleng dan Seudati. Mereka semakin energik. Memainkan gerakan-gerakan pesan moral. Turispun makin terkesima. Mereka tak segan mengabadikan momentum tersebut yang langka dilihatnya. Padahal ini baru latihan saja. Penampilan resminya pada 1-3 Juli 2011 dalam even Enchanting Indonesia 5 di Orchad Road Takashimaya Mall Singapura.

Sangking penasarannya, seorang turis nampak memberanikan diri menanyai apa yang ditampilkan kelompok tari tersebut. Sayang ketika menyebutkan Aceh, “Saya tidak tahu. Apa itu Aceh?” tanya Stefani turis asal Inggris dalam Bahasa Inggris.

Ironisnya lagi, beberapa warga Singapura juga tak tahu gerangan Aceh itu apa. Mereka turut bertanya Aceh itu di mana. Lain cerita bila mengenalkan diri sebagai warga Negara Indonesia. “Itulah faktanya. Singapura aja tidak mengenal Aceh,” ujar ketua delegasi Normansyah PAN.

Masyarakat Aceh bisa saja intim dengan Singapura. Hampir setiap tahun, pengunjung Indonesia dari Aceh menghiasi setiap sudut negeri yang tunduk pada kerajaan Inggris ini. Mereka menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk berbelanja, mencicipi aneka makanan dari berbagai negara yang “ngumpul’ di Singapura, dan banyak lainnya. Di lain sisi, Singapura memiliki beberapa investasi di Aceh. Sebut saja seperti beberapa perusahaan pertambangan.

Namun nama Aceh masih liar bagi mereka. Pun ada beberapa yang tahu, itu hanya karena musibah gempa dan tsunami 2004 lalu. “Tapi nggak juga semua. Yang mereka tahu itukan Cuma Indonesia,” tutur alumnus Kedokteran Unsyiah ini.
“Nah, bayangin coba Aceh hanya dikenal dengan tsunami. Sementara kita punya berbagai kekayaan alam dan tentunya manusia juga,” tambahnya kecewa.

Mengetahui fakta tersebut memang bukan hal yang mengenakkan. Rombongan Aceh hanya mengusap dada. Negeri yang kaya raya di ujung Pulau Sumatera gelap di mata dunia. Padahal sejarahnya, Aceh pernah menguasai perdagangan dunia. Transaksi perdagangan Serambi Mekkah dilakukan di berbagai belahan dunia.
“Sekarang kami akan mempromosikan Aceh melalui Seni. Kita akan mencuri perhatian dunia dengan Saman, Seudati dan lainnya,” sebut Koordinator komunitas seni tersebut yang dilebeli dengan nama Krak Aceh.

Apa yang dilakukan dan diharapkan Sarjev tidak berlebihan sambung Meis Andrayani, warga Aceh yang berlibur disana. Singapura menjadi biduan wisatawan dunia. Sedikitnya setiap tahun, pengunjung Singapura mencapai delapan juta jiwa. Pementasan seni yang juga disponsori oleh Pemerintah Banda Aceh ini dapat mencuri minat wisatawan untuk datang ke Aceh. Apalagi Banda Aceh khususnya masih diwarnai dengan rangkaian Visit Banda Aceh 2011. Lain lagi persiapan Aceh menuju Visit Aceh 2013.

Persoalannya, pementasan seni Aceh seyogianya tidak dilakukan sekali saja. Pemerintah perlu membangun diplomasi wisata dengan Dewan Pariwisata Singapura khususnya. “Ini bukan tidak mungkin. Tinggal bagaimana pemerintah melakukan pendekatan sehingga paling tidak setiap bulan, Aceh bisa tampil disana,” pungkas pemilik Studio Musik Hip Hop di Stui Banda Aceh.

Faktanya, pementasan seni oleh Komunitas Krak Aceh ini pertama kalinya di Singapura lanjut Sarjev. Sebelumnya kekayaan seni Aceh tak pernah manggung di Singapura. Bisa jadi, masuk ke Singapura bukanlah hal yang mudah. Negara ini memiliki system keamanan yang sangat standar dan universal.

Di Imigrasi landas udara saja, para pendatang bisa dimasukkan ke dalam ruang introgasi bila jumlah uang yang dibawa tidak mencapai 1.000 Dolar Singapura. Paling tidak, para pendatang harus memiliki kartu kredit untuk meyakinkan petugas Imigrasi. Kecuali, jika para pendatang memiliki kerabat disana. Itu pun harus dijemput di Changi Airport.
“Kalau tidak, mereka langsung dipulangkan ke negeri asal,” ujarnya tertawa lebar.

2 Juli 2011, ratusan pasang tangan memberikan tepuk tangan yang bertubi-tubi. Suasana pagelaran Enchanting Indonesia di pelataran Takashimaya Mall di Orchad Road riuh menggema. Rapai Geleng yang ditampilkan Krak Aceh telah menghipnotis mereka. Lensa-lensa fotograper profesional tak henti mengabadikan momentum langka tersebut.

“Penampilan Aceh luar biasa. Saya jadi ingin tahu Aceh,” ujar Maria turis asal German.
Sekali lagi panggung Enchanting Indonesia 2011 bergemuruh. Sembilan penari Seudati mengguncang panggung dengan gerakan kakinya yang energik. Sekali-kali mereka bergolak mengelilingi panggung. Konselor KBRI Indonesia di Singapura Fahcry Sulaiman melempar senyum lebar.
“Wah, tahun 2012 Banda Aceh harus tampil lagi di Singapura. Aceh akan kita undang lagi,” katanya mengapresiasi kekayaan dan keunikan kesenian Aceh.

Pesta tersebut memang sudah usai. Marina Bay, patung Singa yang begitu dikenal tersebut telah menjadi saksi kedatangan pelaku seni ini untuk mempromosikan Aceh. Namun, kemudahan itu hanya karena mereka sudah mengantongi undangan Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk mengikuti pagelaran Enchanting Indonesia ke-5. Nah, akankah seni Aceh bisa tampil di ajang internasional lainnya untuk mempromosikan Aceh? []